Selasa, 07 Februari 2017

Kembalilah..

Untuk kau yang menangis siang itu.
Aku merasakan penyesalanmu sampai kesini. Di dalam dada.
Kau bercerita tentang keluargamu yang sempurna,
Bercerita tentang nilaimu disisi mereka.
Kau tau sayang? Aku makin jauh tiada.

Kau bilang tujuanmu jauh ke sini adalah aku. Sudah ku persiapkan hal ini jauh sebelum kau datang; kau akan pulang dengan kecewa.

Kau tau bagaimana sesalku menarikmu hingga ke titik ini?
Kau meninggalkan segalanya.
Pekerjaanmu, hidupmu, keluargamu.

Ingin rasanya aku berteriak agar kau kembali saja. Sayang.. aku hampir gila.
Melihatmu sendiri sepi tanpa tahu cara membunuh hari.

Ini semua salahku, ini semua karenaku.
Jika saja aku tidak berkeras hati mencintaimu dulu. Mungkin kau sudah bahagia sekarang dengan hidupmu.

Betapa bahagianya aku ada org yang mencintaiku hingga mampu berkorban sebesar ini. Berapa banyak telah kau kehilangan? Berapa banyak yg telah kau tinggalkan?

Disajikan pekerjaan yang bahkan ibumu miris mendengar berapa penghasilanmu sekarang.

Dan satuhal, aku masih bersamanya. Iya yg bahkan sama rapuhnya dengan kau kini.
Kadang aku menangis sendiri.
Kenapa hatiku harus menjadi penopang kalian?
Disaat hatiku justru butuh kaki untukku berpijak.

Malam demi malam aku coba meyakinkan diri,
Kau lah tetap pria yang aku pilih untuk ku nikahi.
Tapi maaf, aku masih belum bisa melepasnya. Karena dia dan aku terlanjur terikat kuat saat kau tiada, bukan.. bukan seperti ikatan kau dan aku. Tapi lebih seperti kekhawatiran yang tak bisa aku jelaskan.

Pulanglah ... bukan menyerah padaku, tapi menyerah pada Tuhan.
Bukan karena aku memilihnya. Tapi karena aku menginginkan kau kembali pada hidupmu seharusnya.

Jalanku masih panjang. Masih terlalu tenggelam pada luka yg pernah tertanam. Kau tak perlu menunggu. Karena aku juga takkan mencarimu.

Kita seharusnya bisa tenang. Dengan hidup yang seharusnya berjalan. Kita seolah telah memaksakan sesuatu yg tengah terlewat. Atau memotong akhir cerita terlalu cepat.